Air Mata Kehidupan

Minggu, 16 Oktober 2011

Hikayat Tiga Santri

FILM
Minggu, 28 Desember 2008 | 01:28 WIB
Dibaca: 17
|
Share:
3 Doa 3 Cinta
Wicaksono Adi
Di tengah kabar gembira berupa kian penuhnya layar bioskop kita oleh film Indonesia hari-hari ini—sebagian di antaranya bahkan berhasil meraup jutaan penonton—muncul film 3 Doa 3 Cinta yang mengangkat tema yang jarang disentuh sineas kita, yakni dunia pesantren, khususnya kehidupan para santri di pesantren tradisional. Sutradara film ini, Nurman Hakim, kebetulan adalah bekas santri yang belajar film di IKJ lalu menjadi pengajar di almamaternya tersebut. Boleh dibilang film ini merupakan rekaman pengalaman pribadinya selama bertahun-tahun menjadi santri.
Tentu, sebagai salah satu subkultur yang sangat tua, kehidupan di pesantren telah mengalami banyak perkembangan, termasuk kurikulum, manajemen, metode pengajaran, dan interaksi sosial di dalamnya. Namun, rupanya Nurman Hakim memilih memotret kehidupan di sebuah pesantren jenis salaf ukuran kecil, yakni pesantren tradisional dengan jumlah santri terbatas yang hingga kini masih banyak kita jumpai terutama di pedalaman Jawa. Kehidupan di situ mirip keluarga besar dengan figur utama seorang kiai yang sekaligus pemilik pesantren.
Para santri yang tinggal di pesantren itu tidur berjejal di deretan bilik semiterbuka beralas tikar dengan perabotan yang kelewat sederhana. Pengajarannya pun dilakukan dengan cara bandongan; para santri duduk bersila di lantai masjid mengelilingi sang kiai yang menerangkan isi kitab-kitab Islam klasik. Selain model bandongan itu, kita juga mengenal pengajaran cara sorogan di mana beberapa santri (dalam jumlah yang lebih kecil) belajar secara intensif vis a vis kepada seorang kiai.
Pada film ini, kita tidak sedang menyaksikan kehidupan di pesantren modern yang kadang mirip asrama dengan disiplin pengajaran yang ketat dan terorganisasi rapi, melainkan kehidupan di pesantren tradisional yang sederhana, miskin, dan ndeso. Di pesantren milik Kiai Wahab itu tinggal para santri berusia remaja dan masih lugu yang rata-rata berasal dari keluarga kalangan bawah, di antaranya Huda (Nicholas Saputra), Rian, dan Syahid. Menjelang akhir pendidikan sebagai santri, mereka sering berkumpul membahas rencana masing-masing setelah kelak lulus dari pesantren.
Huda akan mencari ibunya yang menghilang dan tak pernah menjenguknya di pesantren. Sementara Rian (yang baru saja mendapat hadiah handycam dari ibunya) berencana meneruskan usaha video perkawinan milik almarhum ayahnya, dan Syahid, dengan lugu berkata: ”Sesuai namaku, aku mau mati syahid lalu masuk surga.” Kebetulan Syahid diam-diam memang rajin mengikuti pengajian ”garis keras” di surau lain tak jauh dari pesantren Kiai Wahab.
Mereka menuliskan keinginan masing-masing (dalam aksara Arab) pada sebuah tembok tua dekat pesantren. Itulah doa yang harus segera dilaksanakan. Huda pun mulai mencari ibunya, dan ia menemukan titik terang setelah berkenalan dengan Dona (Dian Sastrowardoyo), seorang penyanyi dangdut kampung yang sedang berziarah ke sebuah makam. Atas bantuan Dona, ia dapat menemukan alamat ibunya di Jakarta. (Tentu samar-samar tumbuh rasa cinta antara Dona dan Huda). Sesampai di Jakarta, Huda tahu bahwa ibunya (yang ternyata bekerja sebagai perempuan malam itu) sudah lama meninggal.
Adapun Rian kemudian membatalkan niat pulang untuk meneruskan usaha video perkawinan almarhum ayahnya karena kecewa setelah tahu bahwa ibunya segera menikah dengan laki-laki lain. Ia ingin ikut Pak Toha (pemilik usaha layar tancap keliling) yang saat itu sedang menggelar pertunjukan di sebuah lapangan dekat pesantren. Dan Syahid yang putus asa karena tak mampu menanggung biaya pengobatan ayahnya yang sekarat di rumah sakit semakin mantap menjadi anggota kelompok militan yang direkrut oleh seorang ustaz radikal tempatnya mengaji secara diam-diam itu.
Dan situasinya pun kian runyam ketika tiba-tiba polisi menggerebek pesantren, menangkap lalu menjebloskan Syahid dan beberapa santri serta Kiai Wahab ke penjara dengan tuduhan yang sangat gawat: mereka telah menjadi anggota Islam garis keras. Handycam milik Rian yang sebagian berisi rekaman aktivitas kelompok radikal tempat Syahid rajin mengaji itu dijadikan bukti yang memperkuat tuduhan tersebut.
Tradisi poligami
Selain kisah tiga remaja plus penggerebekan oleh polisi tersebut, kita juga menemukan kisah-kisah lain seperti keputusasaan Kiai Wahab yang tak memiliki anak lelaki guna meneruskan kepemimpinannya di pesantren, tradisi poligami yang dilakukan para kiai yang ditunjukkan melalui acara pernikahan keempat Kiai Ridwan, kisah ustaz homo yang menggauli seorang santri, kisah Dona (penyanyi kampung) yang bermimpi menjadi artis terkenal, dan berbagai peristiwa konyol di seputar kehidupan para santri.
Sekian banyak kisah dan kejadian itu seperti hendak mempertegas kembali pernyataan yang lazim dikemukakan beberapa pengamat Islam bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan juga bentuk paling sederhana dan nyata dari pengajaran agama sebagai doktrin sekaligus bagaimana agama dipahami sebagai pengalaman manusiawi beserta hubungan-hubungan sosial di dalamnya yang tak banyak berubah dari dulu hingga sekarang.
Agama sebagai doktrin tekstual yang diajarkan oleh Kiai Wahab (dalam sesi pengajian model bandongan) memang telah jadi model umum dalam pesantren tradisional di satu sisi, sementara di sisi lain kita menyaksikan bagaimana agama dipahami sebagai pengalaman kolektif yang tak ada kaitan langsung dengan pengajaran doktrin tersebut berjalan secara rutin diselingi dengan interaksi dengan dunia luar secara wajar. Dan keduanya kemudian diparalelkan dengan kehidupan manusiawi para santri yang serba lugu lalu dikontraskan dengan gambaran agama sebagai doktrin radikal yang diajarkan oleh seorang ustaz garis keras yang garang.
Di situ Kiai Wahab ditampilkan sebagai sosok moderat yang mengajarkan agama dalam berbagai dimensi secara seimbang, sementara sang ustaz garis keras ditampilkan sebagai pihak lain yang akan merusak agama dalam diri para santri yang lugu itu. Jelas terasa penegasan bahwa pada dasarnya bahwa fundamentalisme bukan bagian wajar dari pengajaran agama di pesantren.
Namun, pertentangan tersebut tidak dielaborasi lebih lanjut karena film ini memang tidak sedang berbicara ihwal kemungkinan komplikasi proses internalisasi doktrin agama dalam situasi tertentu, melainkan hanya menampilkan potret liku-liku kehidupan para penghuni pesantren yang bermacam rupa itu. Kita tak menemukan proses pencarian eksistensial yang pelik dan berat akibat komplikasi berbagai kemungkinan internalisasi doktrin agama pada tokoh-tokoh ceritanya, melainkan warna-warni peristiwa yang melibatkan para penghuni pesantren. Para santri terlibat dalam banyak peristiwa sembari diam-diam memendam masalahnya sendiri-sendiri.
Banyaknya kejadian yang ditampilkan itu memang dapat membuat film ini kehilangan fokus. Namun syukurlah, Nurman Hakim dapat menata satu per satu alur cerita yang tampak menyebar lalu menyelesaikannya dengan wajar: sekian tahun kemudian setelah Kiai Wahab meninggal, Huda akhirnya kembali ke pesantren, menikah dengan Farokah (anak Kiai Wahab), dan meneruskan kepemimpinan pesantren, Rian menjadi pengusaha video shooting kecil-kecilan, dan Syahid keluar dari penjara.
Walhasil, ini bukan film tentang Islam, melainkan kisah orang-orang sederhana yang hidup dalam ceruk budaya bernama pesantren di mana Islam diajarkan selama berabad-abad. Nicholas Saputra kadang memang tampak terlalu tampan sebagai seorang santri. Namun, rupanya ia cukup berhasil memainkan karakter Huda yang lugu dan dapat berbagi ruang dengan karakter lain.
Sungguh tak banyak (bahkan mungkin langka) karya seni (sastra, seni rupa, teater, film) yang mengangkat dunia pesantren. Maka, film ini cukup berharga sebagai jendela untuk sekilas melongok kehidupan pesantren yang ternyata mengandung kisah-kisah menarik lengkap dengan bau bacinnya yang wajar.
Wicaksono Adi, Manajer Program pada CCI (Center for Culture and Images)

Tidak ada komentar: