Air Mata Kehidupan

Selasa, 07 Juni 2011

JAKARTA tahun 2014 " LUMPUH TOTAL ! " (ramalan)

JAKARTA tahun 2014 akan mengalami kelumpuhan total! Ramalan ini bukan untuk mencari sensasi atau gosip baru sekadar untuk membuat cemas masyarakat. Bahkan, Gubernur Sutiyoso sudah sering mengumandangkan ramalan ini. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian dari Sistem Perencanaan Transportasi Makro di Jakarta, proyeksi kondisi kelumpuhan total tahun 2014 akan terjadi jika penggunaan kendaraan pribadi, khususnya roda empat, tidak berkurang.

Apakah prakiraan ini akan terjadi, atau sekadar hasil hitung-hitungan statistik para pakar transportasi yang semakin cemas melihat permasalahan lalu lintas di Jakarta yang setiap hari bukan semakin bertambah baik atau berkurang kemacetannya.

Kelumpuhan total ini tetap merupakan suatu ancaman terhadap perkembangan Jakarta di masa depan. Tahun 2014 tinggal sepuluh tahun lagi, jika pemerintah kota dan masyarakat gagal untuk menyusun suatu langkah strategi pemecahan masalahnya, maka prakiraan kelumpuhan ini akan benar-benar terjadi. Pada tahun 2004 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 4,5 juta unit, dengan jumlah roda empat sebanyak 2,1 juta unit.
Dengan rata-rata peningkatan jumlah kendaraan sebelas persen setahun yang berbanding jauh dengan penambahan panjang jalan yang hanya satu persen, maka tanda-tanda menuju kelumpuhan sudah terlihat.

Data dari penelitian Departemen Perhubungan pada tahun 2000 pada 34 titik pengamatan di Jakarta, menunjukkan 32 titik atau 94 persen ruas jalan arteri telah mendapat beban yang melebihi kapasitasnya. Jika kita mengamati kondisi perjalanan sehari-hari secara goyon lalu lintas di Jakarta saat ini sudah sering mengalami "pamer" alias padat merayap, atau yang lebih parah lagi adalah "pamer diranjang" alias padat merayap dalam antrean panjang.

Kelumpuhan ini selain disebabkan daya tarik Jakarta yang tidak habis-habisnya, juga disebabkan beberapa faktor pendorong yang cenderung menjadi penyebab kemungkinan peningkatan kepadatan lalu lintas di dalam kawasan perkotaan di masa depan. Salah satu sebab adalah terjadinya kecenderungan kelompok muda menengah atas yang melakukan perubahan dalam memilih tempat tinggal.

Saat ini akibat faktor kemacetan, banyak kalangan muda atas yang memilih apartemen di pusat kota sebagai pilihan tempat tinggal. Layanan angkutan publik yang tidak aman dan nyaman, serta kondisi pedestrian yang tidak tertata, akan menjadikan kendaraan pribadi sebagai pilihan mereka dalam melakukan aktivitasnya.
Sementara itu kelompok menengah bawah yang tidak mampu untuk tinggal di pusat kota karena mahalnya harga tanah di Jakarta, akan memaksa dirinya membeli kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua sebagai alat mobilitasnya. Hal ini dilakukan akibat minimnya layanan angkutan umum yang layak ke kawasan permukiman di pinggiran Jakarta.

Semua serba dilematis, tanpa adanya pembatasan yang ketat, dan koordinasi dalam perencanaan dan pengembangan sistem transportasi, maka bersiaplah warga Jakarta dari sekarang untuk menghadapi tanda-tanda kelumpuhan tersebut.

WARGA Jakarta sebaiknya sudah mulai belajar dari Kota Bandung, sebagai kota terdekat yang sudah mulai lumpuh lalu lintasnya. Apa yang dihadapi warga Bandung saat ini bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk menjadi bahan perenungan. Kota Bandung yang semakin padat dan terbatas jaringan jalannya, saat ini semakin bertambah parah akibat terjadinya perubahan kawasan permukiman menjadi kawasan perdagangan. Situasi Jakarta sudah tidak jauh berbeda, kondisi saat ini sudah mendekati situasi yang mengkhawatirkan.

Pertumbuhan wilayah permukiman baru yang pesat di sekitar Jakarta (Cibubur, Bekasi dan Tangerang) tanpa didukung pelayanan angkutan massal telah membawa dampak kemacetan yang parah di ruas jalan tol dan pintu-pintu keluarnya. Data Jasa Marga, mencatat 1,1 juta unit kendaraan pribadi masuk dari arah selatan ( Cimanggis, Cibubur), sementara 2,3 juta unit kendaraan menumpuk dari arah barat melalui Kebun Jeruk. Sementara itu dari arah timur melalui pintu Bekasi, sebanyak 1 juta unit kendaraan.

Waktu tempuh perjalanan semakin panjang, waktu untuk keluarga sudah hilang, polusi bertambah dan semakin melelahkan. Sementara keberadaan sekitar 23 flyover dan 8 under pass di berbagai titik rawan, tidak mampu memecahkan kemacetan.

Jika Jakarta benar-benar menjadi lumpuh pada tahun 2014 , maka kota ini telah gagal untuk secara sungguh-sungguh membangun sistem perencanaan transportasinya. Bandingkanlah dengan Bangkok yang bertekad pada tahun 2016 akan menawarkan dirinya untuk menjadi kota penyelenggara Olimpiade Dunia.
Walaupun ada kritik terhadap kondisi lalu lintasnya, para pengelola kotanya tetap optimistis kemacetan lalu lintas di Bangkok akan dapat diatasi. Apakah Jakarta mampu mengatasi masalah kemacetan lalu lintasnya, sebaiknya ini menjadi bahan renungan sebelum kelumpuhan itu benar-benar terjadi di hadapan kita.

Yayat Supriatna Planolog (KCM 18 Oktober 2004)

Tidak ada komentar: